Obrolan tiga petugas yang berjaga di rumah tahanan (rutan) khusus pesakitan penyalahgunaan obat terlarang malam itu terputus teriakan salah seorang penghuni rutan. Tak sabar dengan pesakitan yang tak lelah gaduh mencari cahaya dengan mengguncang – guncang pintu selnya sepanjang hari; mereka memutuskan untuk mengirimkan pesakitan yang sudah tak waras itu ke rumah sakit jiwa. Si pesakitan yang masuk sel karena narkoba, lelaki muda, parasnya bule Arab dengan rambut ikal yang jatuh melewati bahu itu juga tak henti berguman akan masa lalu.
Esok harinya, lelaki muda itu pun berjalan menyusuri selasar Rumah Sakit Jiwa Manusia yang riuh dengan pandangan kosong sembari memeluk skateboard-nya erat – erat. Oleh dokter, ia ditempatkan di sel isolasi, tempat baginya menjalani masa – masa orientasi dan observasi sebagai penghuni baru sebelum diijinkan bergabung di kamar dan bergaul dengan penghuni lainnya.
Di sel barunya yang terang, dia terus saja mencari cahaya. Dari tempat yang sama, ia menemukan masa lalu yang berkelebat dari sosok perempuan muda yang berjalan – jalan di selasar di depan selnya. Sepotong kenangan pada masa lalu yang tersisa dan melekat baik dalam ingatan, menautkan hati Pesta, lelaki pencari cahaya dengan Beth yang dititipkan oleh keluarganya karena tak waras. Ternyata, cinta tak selalu dinyatakan dengan sekuntum kembang. Setiap manusia punya caranya sendiri – sendiri yang dipikirnya wajar meski bagi orang lain dipandang tak wajar. Hal yang sama berlaku bagi Pesta dan Beth. Satu malam, Pesta menemui Beth untuk menyatakan cintanya (kembali) dengan menghadiahkan seekor kecoak yang didapatnya dari cahaya yang turun lewat lubang yang dengan sengaja dibuatnya di atas langit – langit tempat tidurnya.
Beth adalah penghuni khusus di rumah sakit itu. Sehari – hari ia ditemani oleh Rehan, suster pribadi yang dibayar mahal oleh Papanya untuk menjaga dan menyiapkan segala kebutuhan Beth termasuk menemaninya bermain piano dan dipaksa menyanyikan pujian meski dirinya berulang mengatakan dia bukan kristen, terus saja dia bernyanyi. Di waktu – waktu tertentu, ketika rindu menderanya, Beth akan berkabar dengan menelepon Eliza untuk menumpahkan sayangnya. Pada “anaknya” itu, Beth pun selalu mengingatkan untuk mendengarkan apa kata Mama dan melawan Opa. Saat dijenguk oleh orang tuanya, Beth akan sangat girang memeluk dan bermain dengan Eliza, ia tak hirau akan kehadiran Mama Papanya.
Suster Rehan lama – lama tak tahan juga dengan kelakuan Beth namun tak kuasa menolak permintaan pasiennya itu. Pun ketika diminta untuk mencari Triveni, ia baru tersadar setelah lelah berjongkok di depan kolong lemari yang dicarinya hanyalah seekor kecoak. Untuk mengurangi beban emosinya, ia mencurahkan laranya pada rekan perawat yang membuatnya semakin lara mendengar pengakuan rekannya yang ternyata mantan penghuni di rumah sakit jiwa tempatnya bekerja.
Cerita di atas adalah potongan BETH, film layar lebar pertama karya sutradara Aria Kusumadewa yang tak pernah muncul di layar bioskop yang akhirnya berhasil juga ditonton Rabu malam lalu setelah drama gagal nonton karena terkurung hujan di minggu sebelumnya. Film yang telah lama membuat penasaran pada karakter para tokohnya sebagai orang tak waras. Untuk mamahami jalan cerita BETH, penonton pun harus mencoba lebur menjadi gila. Namun, ternyata tak banyak yang ingin dicap tak waras jika melihat jumlah penonton malam itu hanya enam orang saja padahal informasi tentangnya telah disebar beberapa minggu sebelumnya. BETH salah satu film bagus yang lahir 16 tahun lalu.
Usai menonton, sebuah tanya iseng terlontar saat diskusi singkat digelar di ruang studio. Kenapa film ini diberi judul BETH? Bukankah semua pemeran di dalam film mendapatkan porsi yang hampir sama untuk muncul di layar? Sayang malam itu sutradanya tak hadir sehingga tak ada yang bisa memberi jawab. Alhasil semua menebak – nebak saja seturut yang ditangkap dari BETH. Setiap mata yang menikmati film ini pasti akan memiliki persepsi sendiri – sendiri setelah pandangan dan pikirannya mencoba menangkap keseharian yang terjadi di sebuah rumah sakit jiwa.
Jadi, kenapa BETH? Menurut saya, karena ia bercerita tentang Eliza dan Beth yang terangkum dan terangkai dari dalam diri seorang Elizabeth; BETH. Beth adalah anak jenderal seperti yang terekam dalam ingatan Suster Rehan dan membuat kepalanya berdengung – dengung, Beth yang tersipu – sipu membayangkan dirinya sebagai pemain piano yang baik mendengar pujian sinis Suster Rehan, Beth yang hubungannya dengan Pesta tak direstui, yang hamil dan mengalami goncangan jiwa karena kandungannya digugurkan secara paksa. Beth yang dihadiahi Eliza seekor anjing yang diperlakukan bak anaknya sendiri, Beth yang senang sekali kala berkabar pada Eliza bahwa ia memiliki adik bernama Triveni. Pada bagian ini saya senyum – senyum, sebenarnya yang waras siapa sih? Koq si pengawal jenderal dengan patuhnya memegang gagang telepon di kuping Eliza saat ditelpon Beth?
Beth diperankan dengan apik oleh Sha Ine Febriyanti yang demi memerankan Beth yang gila itu dirinya pun makan sepiring dengan Eliza bahkan memperkenankan Eliza menjilat makanan dari mulutnya yang bagi sebagian besar orang itu … jjjiiijiiiiiik. Lhaa .. namanya juga orang gila! Mencium kecoak saja serasa mewangi aroma mawar! Kehadiran pelakon lainnya sebagai pelengkap bahwa mereka yang tak waras pun memiliki lingkungan pergaulan. Memiliki ruang untuk berinteraksi, ruang untuk berekspresi, ruang ambisi, ruang untuk berlakon dan menunjukkan eksistensi diri. Sebagai Pesta, Bucek Depp tak merangsang penonton berharap banyak padanya. Saya lebih terpesona pada Eki Lamoh yang memerankan Eki Si Penyanyi yang meninggal terkena serangan jantung di tengah konser yang digelarnya sendiri di depan rumah sakit jiwa.
BETH ditutup dengan kematian Eliza yang dagingnya terburai ke muka Beth setelah didor pak Jenderal (El Manik) saat anak perempuannya sendang menikmati makan siang bersama Eliza. Beth dijemput pulang ke rumah karena hubungannya dengan Pesta di rumah sakit yang sedari awal tak direstui terutama oleh Papanya terbongkar. Suster Rehan (Nurul Arifin) tak bisa ikut bersamanya, ia tak lolos sesi wawancara. Suster itu bingung dengan keadaannya sendiri.
Sebagai penonton yang merasa waras (meski saya mulai kurang yakin dengan kewarasan itu), saya pun terbawa suasana saat air hujan menetes dari langit – langit kamar Pesta yang bolong ketika tetes – tetes air mendadak jatuh dari langit – langit studio ke bibir sofa tempat saya duduk. Saya pun sempat terkecoh oleh sosok berkedok dokter yang rajin mengingatkan penghuni rumah sakit untuk tak lupa meminum obat tiga kali sehari agar mendapatkan energi untuk menghidupkan televisi yang rusak, ternyata adalah penghuni juga. Rumah Sakit Jiwa Manusia itu memang penghuninya beragam, dari seniman (penyanyi, penyair, perupa) hingga politisi, dari warga biasa, anak jenderal hingga kaum terpelajar seperti dokter yang mengecoh itu. Oh ya, yang membingungkan ada perupa yang membuat instalasi dan mengelas malam – malam demi berpameran. Siapa yang pegang aturan ya di rumah sakit itu? koq mengijinkan orang itu sesuka hatinya bahkan bisa mengundang grup punk untuk memeriahkan pameran seni rupanya? Jika dipikir – pikir, semua itu sebenarnya tak jauh berbeda dengan keseharian di luar (rumah sakit jiwa) kan?
BETH merangsang otak untuk berpikir, membuat orang waras merasa tak waras mengikuti keseharian mereka yang dicap mengalami gangguan jiwa serta menebak – nebak dia waras apa nggak ya? Menikmati BETH mesti dengan santai saja. Jika kamu waras (atau pun tak waras), maka kamu akan menyadari betapa tipisnya sekat dalam ruang kewarasan antara yang waras dengan yang tak waras, saleum [oli3ve].
